http://photo.sh/tags/daehancute
Sabtu, 24 Oktober 2015
Senin, 19 Oktober 2015
Vica a.k.a Caca
http://duapuluhsatumei.tumblr.com/post/131421257358/hari-minggu-yang-ideal-teringat-akan-pepatah
Menanggapi tulisan Caca alias Vica
tentang hari minggu yang ideal. Ilustrasi yang disertakan langsung membuat saya
ingin bersantai. Bahkan, saya langsung membayangkan berada di tepi kolam renang
itu tanpa ada orang lain. Cukup saya. Ah tidak, hanya ada satu orang lain: yang
melayani saya sepenuh hati agar saya dapat bersantai seharian penuh. Ah,
kuharap suatu saat kelak akan terwujud.
Vica memberikan lima butir tips untuk
menghabiskan waktu di hari Minggu agar menjadi Minggu yang ideal. Saya suka
kelima poin tersebut, meski belum tentu saya melakukan hal serupa untuk
menjadikan Minggu saya ideal. Lagipula, saya lebih suka menjadikan hari Sabtu
sebagai hari bersantai saya. Di hari itu, saya dapat benar-benar bersantai, sejenak
menjauhkan diri dari rutinitas, lalu saya akan menebusnya di hari Minggu. Bagi saya,
hari Minggu yang ideal adalah hari dimana saya dapat menyelesaikan semua
pekerjaan yang berdeadline di hari Senin dan Selasa. Artinya, saya kembali
memiliki setidaknya satu hari dimana saya dapat kembali bersantai. Ya, saya
tahu saya pemalas.
Kembali ke tulisan saudari Caca yang
cantik dan manis, saya sangat sepakat dengan “tidak keluar rumah
seharian”. Tidak keluar rumah seharian bisa lho, menjadi indikasi bahwa kita
merasa nyaman dengan tempat tinggal kita, keluarga kita, kegiatan domestik
kita. Tapi, bukankah hal tersebut juga mengindikasikan kurangnya sosialisasi dengan
lingkungan? Ah, tidak. Jika memakai perhitungan umum bahwa sepekan terdiri dari
7 hari, maka 6 hari selain hari Minggu adalah waktu kita dapat bersosialisasi. Maka,
1 hari untuk diri sendiri bukanlah hal yang berlebihan: sejenak berinteraksi dengan
tubuh dan pikiran sendiri. Ya, tubuh dan pikiran kita sendiri berhak mendapatkannya.
Di akhir tulisannya, saudari Caca menyampaikan semoga weekend saya (sebagai pembaca) menyenangkan. Maka dalam tulisan yang dibuat di hari Senin ini saya ingin menyampaikan, semoga awal pekanmu menyenangkan, akhir pekanmu menyenangkan, dan setiap hari selalu menyenangkan...! :))
Minggu, 18 Oktober 2015
Bahagia Itu... Teh Hijau, Kerupuk Kutuk, dan Coklat Panas
Hai rek…
Kali ini saya mau bahas
gimana cara menyeduh teh hijau yang tidak sampai merusak cita rasa teh hijau
itu sendiri. Jadi sebenarnya, saya suka meminum teh hijau meski tidak sering
apalagi teratur. Kadang-kadang aja gitu… Alasan saya mengkonsumsinya sih kurang
lebih karena termakan berbagai kabar dan wacana tubuh ideal, saya akui itu.
Namun bukan itu yang ingin saya bahas sekarang. Jadi ceritanya, saya pernah
membaca artikel tentang bagaimana cara menyeduh teh yang baik dan benar agar
cita rasa teh tetap terjaga dan manfaatnya maksimal. Untuk menyeduh teh hijau,
caranya ialah dengan menggunakan air panas yang suhunya sekitar 80-90 derajat
celcius dan hanya didiamkan dalam waktu 1-2 menit. Saya mengacu pada artikel
ini: http://wolipop.detik.com/read/2013/05/20/070614/2250153/1135/ini-cara-yang-benar-menyeduh-teh-agar-rasanya-lebih-nikmat
dan http://food.detik.com/read/2013/03/20/110201/2198720/297/dengan-diagram-ini-menyeduh-teh-jadi-gampang
Membaca artikel tentang
cara menyeduh teh yang baik tersebut saya baca tanpa segera saya praktikkan.
Saya pikir, toh rasanya tidak akan beda jauh dengan teh yang saya buat dengan
cara yang selama ini saya lakukan. Selama ini, saya menggunakan gelas yang berukuran
jumbo, lalu menyeduh teh sesaat setelah air mendidih. Dan karena airnya masih
sangat panas, saya akan mendiamkannya cukup lama hingga dapat diminum tanpa
membakar lidah. Nah suatu malam, saya sedang ingin bersantai di tengah pikiran
yang jenuh setelah kuliah tujuh sks. Maka, saya memutuskan untuk menyeduh teh
hijau untuk membantu merilekskan diri.
Tidak seperti biasanya,
kali ini saya tidak langsung menuangkan air yang baru saja mendidih ke dalam
gelas yang sudah berisi teh hijau. Seperti saya bilang, malam itu saya sedang
ingin bersantai, sok punya leisure time,
dan pengin nyenengin diri mengkonsumsi film-film secara acak dan
meloncat-loncat. Maka, saya diamkan dulu air yang baru saja mendidih tersebut
sementara saya menggoreng camilan favorit saya, kerupuk ikan kutuk. Selesai
menggoreng kerupuk, barulah saya membuat coklat panas dan menyeduh teh. Sekitar
tiga menit kemudian, saya meminum teh hijau hasil seduhan saya sendiri.
Luwarrrbiyasahh! Rasanya jauh berbeda dengan rasa teh yang saya seduh selama
ini. Biasanya terasa pahit, namun kali ini tidak. Sungguh menyegarkan!
Maka malam itu,
berbekal setoples kerupuk, segelas coklat panas, dan segelas teh hijau, saya
menikmati malam yang indah. Selama menikmatinya, saya jadi bersyukur tiada
henti. Agenda menonton film pun tidak lagi dibutuhkan, cukup tiga hal itu dan
saya menjadi sangat bahagia J
Sabtu, 17 Oktober 2015
Acaranya Udah Gak Tayang
Nasionalisme
Ilutif dalam Episode 1 Sinetron “Aku Anak Indonesia” RCTI
Ideologi dan Representasi: Benarkah Selalu Sejalan?
Salah satu sinetron yang sedang ditayangkan di televisi Indonesia
saat ini berjudul “Aku Anak Indonesia” yang ditayangkan di RCTI. Judul menurut
Graeme Burton (2000) berfungsi mempersiapkan pemirsa pada serangkaian
penyikapan atau konvensi tertentu (merancang pola pikir akan program tersebut).
Judul sinetron ini seolah merupakan pernyataan bangga dengan identitas sebagai
Anak Indonesia. Karenanya, judul tersebut memberikan rancangan pola pikir
kepada pemirsanya bahwa sinetron ini mencoba mengangkat tema kebanggaan dan
kecintaan terhadap tanah air (nasionalisme). Tema ini cukup berbeda
dibandingkan sinetron-sinetron lainnya yang lebih banyak menjual percintaan dan
komedi. Sinetron “Aku Anak Indonesia” bersetting kehidupan remaja usia SMA di
Jakarta. Pemeran utama dalam “Aku Anak Indonesia” adalah seorang gadis bernama
Ani yang diceritakan sebagai gadis remaja yang idealis.
Kemunculan sinetron ini disambut cukup baik oleh masyarakat.
Kemungkinan, sinetron ini dianggap merespon apa yang belakangan banyak diulas
media mengenai kecintaan terhadap bangsa kita sendiri, Indonesia. Media menilai
kecintaan terhadap bangsa sendiri telah luntur, bahkan terlupakan. Karenanya, berbagai
tayangan yang dikonsumsi oleh masyarakat mulai dipertanyakan kualitasnya, sebab
sering dianggap sebagai pendorong generasi muda untuk memuja segala yang impor
dan seolah malu dengan yang lokal. Meski demikian ketika menonton keseluruhan
cerita “Aku Anak Indonesia” episode 1, terdapat beberapa hal yang dirasa
janggal berkaitan dengan ideologi yang disampaikan sebagai tema besarnya dan
apa yang ditampilkan dalam cerita. Hal inilah yang nantinya akan dibahas
menggunakan pendekatan analisis wacana kritis.
Sinetron “Aku Anak Indonesia” dapat dianggap sebagai representasi
visual yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi saat ini. Dalam
“Imagined Communities” (1991), Benedict Anderson menceritakan bagaimana
representasi visual digunakan untuk mendokumentasikan perubahan yang terjadi di
masyarakat sacred community. Di masa itu, wujudnya antara lain relief
dan mosaik pada jendela gereja. Hal itu digunakan karena kesadaran bahwa masa
lampau dan masa depan bersifat simultan atau saling berkaitan, dan dengan
demikian sangat erat kaitannya dengan masa sekarang. Karena itu dalam sinetron
“Aku Anak Indonesia”, penting untuk dikaji bagaimana pesan-pesan nasionalisme
disampaikan melalui representasi tersebut. Dengan demikian, diharapkan
selanjutnya tidak ada pemahaman mentah terhadap pesan yang disampaikan di
dalamnya.
Analisis Wacana
Kritis sebagai Pendekatan
Dalam upaya memahami bagaimana kecintaan terhadap tanah air
(nasionalisme) ditampilkan dalam sinetron “Aku Anak Indonesia”, saya memilih
untuk berfokus pada episode 1 dari serial tersebut. Episode 1 dipilih sebagai
objek kajian karena dalam sinetron, episode 1 dijadikan sebagai pengantar atau
pengenalan kepada penonton. Biasanya, di dalam episode 1 ditampilkan
karakter-karakter penting dalam cerita serta konflik yang akan dibangun dalam
keseluruhan serial.
Dalam
episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia”, pemeran utama memiliki porsi
kemunculan yang dominan. Menurut El Saptaria (2006:34), protagonis atau pemeran
utama merupakan karakter yang menggerakkan plot dari awal sampai akhir dan
memiliki itikad, namun dihalangi oleh tokoh lain. Protagonis memiliki irama
tragis dan menggerakkan seluruh cerita. Di dalam episode 1 sinetron “Aku Anak
Indonesia”, protagonis sekaligus berperan sebagai narator atau penutur di akhir
cerita. Teknik ini digunakan untuk mendukung realisme naratif cerita, sehingga
apa yang ingin disampaikan kepada penonton dapat tercapai. Melihat bahwa apa
yang ingin disampaikan banyak dititipkan kepada karakter pemeran utama (Ani),
maka analisis wacana kritis dilakukan dengan melihat penokohan karakter Ani
tersebut, baik yang ia tampilkan maupun anggapan karakter lain tentangnya.
Analisis
wacana kritis mengurai apa yang dianggap wajar, dan berupaya menjelaskan
kemapanan serta pengaruh sosial dari wacana yang seringkali dianggap buram oleh
khalayaknya (Fairclough, 1995:28). Dalam tulisan ini, analisis wacana kritis
digunakan sebagai pisau penelitian untuk memahami bagaimana pesan-pesan
nasionalisme disampaikan dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia”.
Plot dalam
Episode 1 Sinetron “Aku Anak Indonesia”
Sebelum menganalisis karakter Ani, terlebih harus dilakukan
pemetaan plot atau aspek naratif, yaitu:
1.
Ani dan
Ibunya pulang ke Indonesia dari Jerman menggunakan pesawat. Tampak Ani
menitikkan air mata karena bahagia dapat kembali ke tanah air.
2.
Ani
menonton sinetron di televisi, lalu ibunya menegur agar ia menonton sinetron
yang baik. Namun karena dirasa tak ada yang bagus untuk ditonton, ia
mematikannya.
3.
Ani
hendak berangkat sekolah menggunakan sepeda, tetapi Ibunya melarang karena
polusi yang tinggi di Jakarta. Terjadi debat kecil antara keduanya karena Ani
justru ingin mengurangi polusi karena cintanya akan kota dan alam Indonesia,
namun ibunya tetap melarangnya.
4.
Di
mobil dalam perjalanan ke sekolah, Ani mengobrol dengan sopirnya dan
mengeluhkan sikap Ibunya, tetapi sopirnya justru memihak Ibunya. Sopirnya
bilang bahwa Ani baru pulang ke Indonesia setelah lima tahun di Jerman, jadi
kalau naik sepeda sendiri ia bisa tersesat karena jalanan Jakarta semrawut dan
pernapasannya bisa terganggu karena polusi yang tinggi.
5.
Dari
jendela mobilnya, Ani melihat Arif yang terjatuh karena luka tusuk di perutnya.
Ani ingin menolong, tetapi sopirnya menolak karena takut itu hanya tipu
muslihat perampok. Ani bersikeras menolong Arif dan mengancam akan langsung
turun jika sopirnya tidak mau berhenti.
6.
Ani
dan Arif berkenalan di rumah sakit; Arif menceritakan bahwa ia tertusuk ketika
mencoba melerai tawuran antarsekolah.
7.
Ani
melaporkan tentang tawuran antarsekolah kepada wali kelasnya, tetapi responnya
tidak memuaskan Ani. Wali kelasnya mengejek Ani yang baru tinggal di Indonesia
dan mengatakan bahwa tawuran antarsekolah sudah menjadi hal yang wajar. Tugas
Ani sebagai murid adalah belajar, itu saja.
8.
Karena
merasa laporannya tidak ditanggapi, Ani mengumumkan dengan mic usai
upacara di halaman sekolah. Para siswa menyerunya.
9.
Ani
berkenalan dengan Ito di perpustakaan sekolah.
10.
Ani
diancam oleh Wati dan temannya agar tidak ikut campur dan sok pahlawan dalam
urusan tawuran antarsekolah. Wati juga mengejek cara bicara Ani yang
dianggapnya kaku. Ani tidak terima dan balik mengejek Wati dan temannya yang
memakai rok pendek ke sekolah, berkata-kata kasar terhadap orang yang belum
dikenal, dan dipertanyakan isi kepalanya. Ani juga menegaskan bahwa ia bukannya
sok pahlawan, tetapi membela apa yang dianggapnya benar dan anti kekerasan.
11.
Ani
dan Ito melaporkan perihal tawuran antarsekolah ke kantor polisi, namun
lagi-lagi ia merasa tidak mendapat respon yang semestinya.
12.
Ani
datang menjenguk Arif di rumah sakit dan menyuapi Arif. Menurutnya, hal itu
merupakan hal yang wajar sebagai rasa kemanusiaan.
13.
Ani
mengajak teman-temannya membuat pesta kejutan untuk Arif yang akan segera
kembali masuk sekolah. Menurutnya, hal tersebut tak berlebihan dan menunjukkan
rasa bangga akan keberanian Arif menolak tawuran. Ani disebut sebagai ‘Jerman
KW’ oleh Wati yang mengintip dari luar kelas.
14.
Ani
dan teman-temannya mengadakan pesta sambutan untuk Arif di depan sekolah. Ridho
datang untuk menantang Arif berduel. Ani melarang Arif menerima tantangan
tersebut, tapi Arif menerimanya.
15.
Arif
dan Ridho berduel; Ridho kalah dan harus berjanji tidak lagi tawuran.
16.
Para
siswa SMA Anak Indonesia dipukuli para siswa dari sekolah lawan. Ani, Arif, dan
Ito menyusun siasat agar bisa menghentikan tawuran.
17.
Ani,
Arif, dan Ito menemui Abor yang merupakan Komandan tawuran dari sekolah lawan.
Awalnya Abor menolak untuk berdamai, namun akhirnya ia setuju setelah melihat
kebaikan Ani yang mengulurkan saputangannya untuk Abor.
18.
Pertandingan
sepak bola tiap minggu sebagai sarana berdamainya dua sekolah yang tadinya
tawuran. Meski demikian, Wati masih tampak membenci Ani.
Menerapkan
Analisis Wacana Kritis pada Karakter Ani
Dalam analisis wacana kritis, dilakukan upaya denaturalisasi
terhadap wacana yang ada dan dianggap wajar. Hal yang perlu dilakukan menurut
Fairclough (1995:27-28) adalah dengan menjelaskan bagaimana struktur sosial
menentukan kekayaan wacana, dan bagaimana wacana juga menentukan struktur
sosial. Ia menambahkan aspek kritis yang membedakannya dengan analisis wacana
sebelumnya untuk memberikan suatu intervensi kesadaran dengan menggunakan
logika mikro dan makro di dalamnya. Mikro dan makro yang berkaitan menjadi alat
analisis. Mikro adalah lingkup kecil termasuk hal-hal verbal yang ada di dalam
teks, sedangkan makro adalah struktur yang melihat apa yang ada di belakang
kondisi yang disampaikan dalam teks.
Mikro: Perkenalan
Mendalam terhadap Karakter Ani Sang Protagonis
Karakter Ani berjenis round character; digambarkan sebagai
karakter yang sempurna, sarat akan pesan-pesan dramatik (El Saptaria, 2006:35).
Analisis terhadap karakter Ani dalam sinetron “Aku Anak Indonesia” mengacu pada
delapan bagian untuk menciptakan karakter yang dramatis sebagaimana dijelaskan
oleh James Thomas dalam “Script Analysis for Actors, Directors,and
Designers”. Delapan bagian tersebut kemudian disandingkan dengan plot,
sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Objectives/Goal (Tujuan yang Hendak Dicapai oleh Karakter)
Dalam adegan awal ketika Ani berdebat kecil dengan ibunya karena
ingin bersepeda ke sekolah sementara ibunya melarangnya, tampak bahwa tujuan
karakter Ani adalah manifestasinya terhadap kecintaan akan Indonesia. Hal ini
juga terdapat dalam obrolan di adegan Ani dan sopirnya, adegan Ani menolong
Arif, dalam adegan-adegan Ani mengupayakan agar tawuran antarsekolah dapat dihentikan,
dan dalam adegan Ani cekcok dengan Wati.
2.
Kualitas
(Tindakan untuk Mencapai Tujuan/taktik)
Diketahui bahwa tujuan karakter Ani adalah manifestasi kecintaannya
terhadap tanah air. Taktik yang dilakukan ialah dengan berupaya naik sepeda ke
sekolah, berusaha menghentikan tawuran antarsekolah dengan melaporkannya ke
wali kelas, mengumumkannya melalui mic usai upacara, melaporkannya ke
polisi, dan mendatangi Komandan tawuran sekolah lawan. Selain itu, adegan Ani
menolong Arif muncul setelah Ani menyebut tentang keramahan orang Indonesia,
sehingga dapat diartikan sebagai salah satu taktik mencapai tujuannya. Satu hal
yang tampak secara konsisten dalam taktiknya ialah upayanya untuk selalu
menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan sehari-hari.
3.
Konflik
(Penggambaran konflik antarkarakter)
Konflik yang dialami karakter Ani adalah konfliknya dengan
lingkungannya dan beberapa orang di sekitarnya. Konflik dengan lingkungannya
tampak ketika ia berdebat dengan Ibunya saat akan berangkat sekolah naik
sepeda, saat mengobrol dan berdebat dengan sopirnya, saat ia melaporkan tawuran
antarsekolah, ketika ia nekad mengumumkan melalui mic usai upacara
sekolah, saat ia diancam dan diejek oleh Wati, dan ketika Abor menolak niatnya
untuk berdamai.
4.
Willpower (Kemauan Tinggi yang Digunakan untuk Mencapai Objektif)
Ani sebagai seorang murid baru dan berperawakan kecil, namun ia
tidak mudah menyerah untuk terus berupaya demi mencapai keinginannya.
5.
Values/Nilai (Pandangan Baik-Buruk Menurut Karakter)
Nilai bersifat tak kasat mata, berpangkal pada kepercayaan akan
hal-hal tertentu dan mempengaruhi personalitas karakter. Karakter Ani memiliki nilai
berupa kecintaannya terhadap tanah air, keyakinannya bahwa orang Indonesia
ramah, serta keyakinannya dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Karenanya, ia menganggap bahwa respon lingkungannya tidaklah benar sebagaimana
mestinya. Sedangkan karakter Ani sendiri dianggap selalu benar dan memiliki
nilai ideal sebagai pemuda Indonesia. Selain itu, dijelaskan sebelumnya bahwa
judul menjadi upaya dalam mempersiapkan pola pikir penonton akan sinetron ini.
“Aku Anak Indonesia” seolah merujuk pada karakter utama dalam sinetron ini,
yaitu Ani. Artinya, nilai dalam karakter Ani adalah kebanggaannya sebagai Anak
Indonesia.
6.
Personalitas
(Ciri yang Menyajikan Tampilan, Perasaan, dan Pikiran Karakter)
Karakter Ani ditampilkan sebagai perempuan muda usia SMA,
berpenampilan menarik, baik hati, pemberani, dan berasal dari keluarga kelas
menengah ke atas. Ia juga ditampilkan sebagai sosok cerdas, teguh pendirian
(turut menjadikannya taat peraturan), dan memiliki pengalaman tinggal di Jerman
selama lima tahun.
7.
Kompleksitas
(Merepresentasikan Kesadaran Karakter akan Situasinya)
Ani sebagai karakter utama ditampilkan sebagai karakter yang paling
kompleks. Ani baru saja pulang ke Indonesia dari Jerman, ia berasal dari
keluarga menengah ke atas. Di sisi lain, ia menjadi murid baru memiliki
beberapa hal yang berlawanan dengan lingkungannya. Kompleksitas ini
menjadikannya menarik untuk dilihat relasinya dengan karakter lain dan
pengembangan cerita.
8.
Relationships
(Keterhubungan Antarkarakter)
Berfokus pada karakter Ani, terlihat bahwa karakter tersebut
beroposisi dengan lingkungannya dan beberapa karakter lain, seperti Ibunya,
sopirnya, Wati, Wali Kelasnya, polisi, dan Abor. Karakter Ani berada dalam
relasi positif dengan Arif, Ito, dan Abor pada akhirnya.
Makro: Penyampaian Pesan yang Terbalik
Ani digambarkan sebagai karakter yang ideal dalam menyampaikan
wacana nasionalisme, karena ia anti kekerasan, teguh pendirian, berani, taat
peraturan, dan baik terhadap sesama. Sifat-sifat ideal tersebut juga didukung
oleh latar belakangnya sebagai anak dari kalangan menengah ke atas. Namun demikian,
kesempurnaannya justru menjadi kendala antara ia dan lingkungannya serta
beberapa tokoh lainnya. Hal ini menjadi konflik yang menjadikan ceritanya
menarik. Namun, penokohan karakter Ani yang dilakukan melalui karakter lain
dalam cerita memunculkan kritik karena seolah justru memutarbalikkan wacana
yang ingin disampaikan.
Karakter Ani diceritakan sebagai anak pindahan di SMA di Indonesia
setelah sebelumnya selama lima tahun tinggal di Jerman. Dalam beberapa adegan
konflik yang ada, latar belakang Ani sebagai ‘anak yang baru pulang dari
Jerman’ disebutkan dan ditekankan. Penekanan tersebut seolah menyatakan
fetisisme terhadap Jerman yang bukan tanah air, sedangkan Indonesia sebagai
tanah air sama sekali tidak digambarkan sebagai negeri yang layak dicintai.
Penyajian ini berkebalikan dari tema sinetron yang mengangkat kecintaan
terhadap tanah air. Adegan-adegan tersebut ialah:
1.
Ani
hendak berangkat sekolah menggunakan sepeda karena ingin mengurangi polusi,
tetapi Ibunya melarang karena di Jakarta polusinya tinggi. Ani pun menurut
meski tidak setuju. Jelas menggambarkan bahwa Jakarta sebagai ibukota adalah
tempat yang kurang nyaman.
2.
Ani
mengobrol dengan sopirnya. Sopirnya bilang bahwa Ani baru pulang ke Indonesia
setelah lima tahun di Jerman, jadi kalau naik sepeda sendiri ia bisa tersesat
karena jalanan Jakarta semrawut dan pernapasannya bisa terganggu karena polusi
yang tinggi. Ketika Ani mendebat bahwa ia masih percaya akan keramahan
masyarakat Indonesia dan keindahan alamnya, sopirnya hanya geleng-geleng kepala
sambil berujar,”Mimpi, Neng...!”. Jelas menggambarkan bahwa keadaan Indonesia
sudah tidak nyaman seperti dahulu, dan anggapan Ani tentang keindahan Indonesia
hanyalah ilusi. Selain itu, adegan tersebut juga menyiratkan bahwa kondisi di
Jerman lebih baik daripada Indonesia.
3.
Ani
melaporkan tentang tawuran antarsekolah kepada wali kelasnya, tetapi Wali
kelasnya malah mengejek Ani yang baru tinggal di Indonesia dan mengatakan bahwa
tawuran antarsekolah sudah menjadi hal yang wajar. Jelas menggambarkan bahwa
kondisi para pelajar di Indonesia sangatlah buruk dan tidak sebaik di luar
Indonesia.
4.
Ani
diancam oleh Wati dan temannya agar tidak ikut campur dan sok pahlawan dalam
urusan tawuran antarsekolah. Ani balik mengejek Wati dan temannya yang memakai
rok pendek ke sekolah, berkata-kata kasar terhadap orang yang belum dikenal,
dan dipertanyakan isi kepalanya. Ani juga menegaskan bahwa ia bukannya sok
pahlawan, tetapi membela apa yang dianggapnya benar dan anti kekerasan. Apa
yang tersirat dalam adegan tersebut adalah bahwa remaja di Indonesia tidak
memiliki tata krama dan tidak mau berpikir, sedangkan Ani yang sebelumnya tinggal
di Jerman kondisinya berkebalikan.
5.
Ani menyuapi
Arif di rumah sakit. Arif bercerita bahwa jika di Indonesia, hal semacam itu
termasuk tabu, tapi Menurut Ani hal itu merupakan hal yang wajar sebagai rasa
kemanusiaan. Di sini, tersirat bahwa sikap Ani sebagai orang yang sebelumnya
tinggal di Jerman adalah sikap yang baik dan benar.
6.
Ani
mengajak teman-temannya membuat pesta kejutan untuk Arif yang akan segera
kembali masuk sekolah dan menunjukkan rasa bangga akan keberanian Arif menolak
tawuran. Ani disebut sebagai ‘Jerman KW’ oleh Wati yang mengintip dari luar
kelas. Adegan ini menyiratkan bahwa Wati iri karena Ani disenangi
teman-temannya, dan terdapat fetisisme yang jelas terhadap Jerman melalui
julukan ‘Jerman KW’ yang dilontarkan Wati kepada Ani.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa apa yang
disampaikan dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia” justru berisi
pandangan fetish terhadap Jerman dan menganggap rendah atau buruk terhadap
tanah air Indonesia. Menurut saya, hal tersebut merupakan kesalahan fatal,
sebab dengan demikian pesan yang ingin disampaikan kepada penonton tidak dapat
diwujudkan.
Menyongsong
Matinya Nasionalisme
Benedict Anderson (1991) menyebut bahwa sebuah bangsa adalah sebuah
komunitas yang dibayangkan (imagined community). Tidak pernah ada yang
benar-benar dapat menghitung anggota dari suatu bangsa dan bagaimana kondisinya.
Bangsa menurut Anderson bersifat terbatas sekaligus berkuasa. Terbatas karena
kita sebagai bagiannya selalu menganggap bahwa ada batasan tertentu yang
menjadikan kita berkebangsaan yang satu dan bukan yang lain. Contohnya, kita
merasa berkebangsaan Indonesia, bukan Jerman. Kita tidak pernah membayangkan
bahwa seluruh orang di dunia ini berkebangsaan Indonesia. Di sisi lain,
kebangsaan juga berkuasa, karena memiliki kuasa menyatukan pluralisme.
Konsep kebangsaan menurut Anderson ini dapat memberikan implikasi
yang besar bila diterapkan pada kasus sinetron “Aku Anak Indonesia”. Kebangsaan
adalah nilai yang paling melegitimasi dalam kehidupan politik di masa kini.
Karenanya, wacana yang melingkupinya juga sangat mempengaruhi tindakan kita
sebagai bagian dari suatu bangsa. Melalui sifat kebangsaan yang terbatas,
penonton menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan
bukan bagian dari bangsa Jerman. Penyajian dalam sinetron “Aku Anak Indonesia”
dapat memberikan implikasi yang berkebalikan dari apa yang ingin disampaikan:
alih-alih menumbuhkan rasa cinta tanah air, justru memupusnya dan memupuk
fetisisme terhadap segala yang ada di luar negeri (Jerman).
Kuasa dalam bangsa dapat menyatukan pluralisme. Permasalahannya
akan muncul bila pluralisme tidak diimbangi dengan nasionalisme yang kuat,
sebab orang-orang di dalamnya telah terbiasa dengan perbedaan dan menjadi tidak
peka terhadap persinggungan dengan bangsa lain. Bila dibiarkan berlarut-larut,
nasionalisme akan benar-benar luntur. Jika apa yang ditulis oleh Bennedict
tentang kerelaan mati demi bangsa dijadikan tolak ukur, maka nantinya tidak
akan ada lagi yang rela mati demi Indonesia. Tidak ada lagi yang membela tanah
air demi identitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia; yang ada kemudian
adalah: matinya nasionalisme, matinya bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities. London &
New York: Verso.
Burton, Graeme. 2000. Membincangkan Televisi. Yogyakarta:
Jalasutra.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis.
London & New York: Longman.
Thomas, James. 2005. Script Analysis for Actors, Directors, and
Designers. New York: Focal Press.
Kamis, 15 Oktober 2015
Daripada Basi Tanpa Sempat Dibagi
BIAS
PADA REALITY SHOW
STUDI
KASUS REALITY SHOW “PANAH ASMARA
ARJUNA” DI ANTV
oleh Fina Zahra
Ada yang menarik dalam reality show. Reality show banyak diklaim sebagai sebuah program semi dokumenter,
sebab dibuat berdasarkan situasi dan kejadian apa adanya yang direkam tanpa script atau naskah. Dengan kata lain, reality show dianggap sebagai sebuah
tontonan yang benar-benar terjadi tanpa rekayasa apapun. Reality show yang ditayangkan di Indonesia antara lain:
“Termehek-Mehek”, “Katakan Cinta”, “Pemburu Hantu”, “Realigi”, dan “Jika Aku
Menjadi”. “Termehek-Mehek” dan “Katakan Cinta” adalah reality show tentang percintaan, biasanya menceritakan kaum muda
yang belum menikah dan usaha mereka untuk mendapatkan pasangan. Lain halnya
dengan “Pemburu Hantu” dan “Realigi” yang mengangkat tema mistis, menceritakan
tentang pengalaman religius dan bagaimana para ahli seperti ustadz berusaha
melawan dan mengusir makhluk halus yang dinilai mengganggu pada suatu lokasi
tertentu. Sedangkan “Jika Aku Menjadi” mengangkat tema sosial, menampilkan
seseorang yang hidup berkecukupan mencoba merasakan hidup kekurangan. Ia
kemudian menjadi tamu seseorang yang diasumsikan miskin, lalu menjalani
kehidupan sebagaimana orang tersebut. Pada akhir acara, si tamu akan memberikan
hadiah sebagai bantuan dan modal orang yang diasumsikan miskin tersebut.
Pemahaman bahwa reality
show sebagai hal yang benar-benar terjadi
tanpa rekayasa terus direproduksi secara massal. Meskipun belakangan banyak
dipertanyakan sampai mana batas kebenaran dalam reality show dan bahkan banyak muncul sanggahan atasnya, namun pemahaman
yang telah ditanamkan oleh kreator reality
show kepada audiens telah kuat mengakar. Hal ini pun sudah menjadi bias pemahaman
konten televisi yang sulit dihindari dan karenanya sering disepelekan. Namun,
bias pemahaman yang tampaknya sepele tersebut berpotensi membentuk ideologi dan
budaya baru. Hal ini dikarenakan, menurut Burton (2000:50), televisi merupakan
bentuk budaya, ekspresi budaya, dan medium di mana budaya dimediasi oleh
khalayaknya. Permasalahannya, ideologi dan budaya baru yang bagaimana yang akan
terbentuk jika dalam informasi yang didapat sendiri sudah terdapat bias pemahaman?
Sebuah reality show terbaru diproduksi oleh
ANTV dengan nama program “Panah Asmara Arjuna”. Acara tersebut tayang perdana
pada 11 Oktober 2014 dan ditayangkan setiap Sabtu pukul 21.00 WIB. “Panah
Asmara Arjuna” menghadirkan kompetisi sepuluh peserta yang disebut “Dewi” dalam
memenangkan hati Sang Arjuna, yang diperankan oleh Shaheer Sheikh. Para Dewi
semuanya adalah orang Indonesia, sedangkan Sang Arjuna adalah seorang artis
India. Para Dewi tersebut akan dikarantina selama 90 hari dan setiap minggunya
ada eliminasi peserta yang dilakukan oleh Sang Arjuna. Selama masa karantina,
para Dewi tersebut juga menghadapi berbagai macam tantangan games, harus memecahkan konflik di
antara mereka, dan tentu saja kencan dengan Arjuna sebagai imbalannya.
Di dalam “Panah Asmara
Arjuna”, pemilihan Shaheer Sheikh sebagai Arjuna merupakan salah satu bentuk
eksploitasi kepopuleran Shaheer Sheikh setelah ia memerankan karakter Arjuna
dalam serial “Mahabaratha” di stasiun televisi yang juga ditayangkan oleh ANTV.
Karakter Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna” pun dengan sengaja dibuat semirip
mungkin dengan karakternya dalam “Mahabaratha”. Fenomena ini kemudian
menimbulkan pertanyaan, bagaimana dan sampai sejauh mana bias pemahaman dalam reality show tersebut direproduksi?
Klaim Reality Show dan Audiens Aktif
Reality
mengacu pada kenyataan yang asli; benar-benar terjadi di dunia nyata, sedangkan
show merujuk pada pertunjukan atau
tontonan yang sudah direncanakan dan diatur. Karenanya, reality show diklaim sebagai program semi dokumenter yang merekam
apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata dan tanpa script yang mengatur. Reality
show adalah kenyataan yang dipertontonkan secara alami dan tidak
direkayasa. Bertujuan menekankan “keaslian”, reality show biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bukan dari
kalangan selebritis. Menurut Danesi (2004:278), reality show memang membenturkan orang biasa—bukan aktor—dengan
situasi yang mengandung semua unsur dramatis dalam opera sabun.
Pemahaman reality show sebagai tontonan yang “asli
dan benar-benar terjadi” telah melekat erat dalam benak audiens. Audiens yang
meyakini pemahaman tersebut kemudian menjadi terikat dengan reality show, setia menontonnya, dan
membicarakannya. Selanjutnya, audiens yang bersifat aktif turut andil dalam
mereproduksi pemahaman tersebut hingga akhirnya pemahaman tersebut terpelihara.
Bahkan menurut Burton (2000:305), audiens televisi benar-benar terlibat dengan
materi yang sepanjang produksinya tidak terkontrol, dan dengan segi-segi yang
tampaknya didesain mencenderungi jenis pemahaman tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa
reproduksi dan pelestarian pemahaman tertentu di ranah publik tidak hanya
dilakukan oleh pihak televisi, namun juga para audiens. Bahkan, audiens yang
sudah sangat meyakini pemahaman itulah yang banyak mereproduksi dan
melestarikan pemahaman tersebut.
Konstruksi Makna
dalam “Panah Asmara Arjuna”
Judul
reality show “Panah Asmara Arjuna”
sudah memberikan gambaran pemahaman kepada audiens.Panah asmara mengisyaratkan
bahwa program acara tersebut bertemakan asmara (cinta) dan sebangsanya,
kemudian Arjuna sendiri banyak digunakan sebagai representasi pria idaman.
Selain itu, Arjuna di sini juga merujuk pada teks media yang lain, yakni
karakter Arjuna dalam serial “Mahabaratha”.
Artis
yang berperan sebagai Arjuna dalam “Panah Asmara Arjuna”dan serial
“Mahabaratha” adalah orang yang sama, bahkan karakternya dalam dua acara
tersebut sengaja dibuat semirip mungkin. Dalam hal ini, kreator “Panah Asmara
Arjuna” telah meminjam imej dari serial “Mahabaratha”, sehingga tak perlu lagi
bersusah payah membangun karakter tokoh tersebut dalam reality show. Di sini, pemahaman audiens mengenai Arjuna dibiaskan
serta mengkonstruksi sosok Arjuna sebagai karakter tunggal: Shaheer Sheikh
adalah Arjuna yang sebenarnya. Fenomena ini menjadikan realita dan fiksi dalam
program acara menjadi bias. Hal ini seakan menjadi usaha kreator reality show “Panah Asmara Arjuna” untuk
membodohi dan mempermainkan audiens.
Plot
besar dalam reality show “Panah
Asmara Arjuna” adalah sepuluh wanita yang disebut “Dewi” berusaha mendapatkan
perhatian dan sebisa mungkin cinta dari Arjuna. Para Dewi tersebut diklaim
sebagai para peserta terpilih hasil dari audisi dan semuanya bukan berasal dari
kalangan artis. Dengan cara tersebut, kreator “Panah Asmara Arjuna”
mengkonstruksi pemahaman audiens bahwa apa yang tampak dalam reality show tersebut adalah kenyataan
yang betul-betul terjadi dan tidak ada script
yang mengaturnya.
Jika audiens telah
meyakini pemahaman yang dikonstruksikan oleh kreator, permasalahannya kemudian,
sikap seperti apa yang diperlihatkan para Dewi dalam acara tersebut?
Diperlihatkan dalam
usaha mendapatkan perhatian dan cinta Arjuna, para Dewi berjuang sekuat tenaga.
Bahkan, sikap buruk yang tidak pantas ditiru pun dilakukan, contohnya adalah
memakai pakaian yang kelewat seksi. Padahal, televisi sebagai media gambar dan
suara memiliki kemampuan lebih dalam mempengaruhi audiens.
Sanggahan Atas Klaim
Kenyataan dalam Reality Show
Melihat bagaimana
karakter Arjuna dalam reality show “Panah
Asmara Arjuna”, menjadi jelas bahwa reality
show tidaklah menampilkan apa yang betul-betul terjadi tanpa rekayasa. Sejak
awal program tersebut dibuat, telah ada rencana besar beserta detailnya dalam
penyiaran. Burton (2000:12) berpendapat bahwa televisi menurut definisinya
tidaklah real. televisi adalah medium teknis untuk membangun sebuah versi
tentang yang real: semua program itu tidak real; semua program itu hanyalah berbagai
versi yang berbeda mengenai yang real.
Danesi (2004:279)
berpendapat, reality show hanyalah
satu gejala voyeurisme—mengintip--di mana kita lebih suka hidup di tempat umum
ketimbang hidup dalam privasi. Kemudian, bisa jadi pada level bawah sadar yang
dalam kita ingin memaknai kehidupan dengan melihat kehidupan orang lain, dan
menurutnya hal itu adalah aneh.Menurut saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Terlalu
suka mengumbar hal yang seharusnya bersifat privat dan bahkan mengizinkan orang
lain mengetahui kehidupan kita sehari-har memang aneh, sebab seolah tidak
memiliki kendali atas diri sendiri. Namun, mempelajari makna kehidupan dari
pengalaman orang lain bukanlah hal yang aneh, sebab manusia memiliki
keterbatasan ruang gerak.
Sumber Pustaka:
Burton,
Graeme, 2004, Membincangkan Televisi
(Sebuah Pengantar Kajian Televisi), Yogyakarta: Jala Sutra.
Danesi,
Marcel, 2000, Pesan, Tanda, dan Makna,
Yogyakarta: Jala Sutra.
Langganan:
Postingan (Atom)