Sumber: https://www.instagram.com/p/BDLVcIvQTm1/?taken-by=santriindonesia
Ini adalah sebuah arsip atas pemikiran
saya setelah membaca tulisan dalam gambar di atas. Bukan sebuah tafsir dari
orang yang ahli, hanya sebuah hasil pemikiran seorang perempuan yang beragama
Islam dan masih dalam upaya memperbaiki diri. Saya perlu menuliskannya supaya suatu saat jika saya kembali menemukan yang serupa, saya tidak harus bingung-bingung.
Beberapa bulan terakhir saya membaca
dan mempelajari tentang gender. Masih awam, tapi saya menjadi lebih sensitif dalam
memandang permasalahan yang berkaitan dengan laki-laki-perempuan, seperti
halnya gambar di atas. Gambar tersebut saya dapatkan dari sebuah akun yang saya
ikuti di instagram. Saya suka mengikuti akun-akun informatif dan akun-akun yang
berisi motivasi.
Membaca tulisan dalam gambar tersebut
membuat saya teringat pembahasan polarisasi perempuan dan laki-laki yang
cenderung menempatkan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik.
Saya pun berpikir, mungkin itu juga yang banyak dipikirkan orang, bahwa agama
Islam pun mengotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan. Tapi, ada hal lain
yang juga mengusik: hadits tersebut menekankan sikap mengalah dan menahan diri.
Ini logika saya, jadi tentu saja bisa
didebat. Saya meyakini bahwa Alloh swt menganugerahkan akal kepada manusia
untuk berpikir—di Al-Quran juga sudah jelas. Dengan berpikir, manusia memiliki
kapasitas untuk memilih secara aktif, hendak bersikap bagaimana. Dalam proses
berpikir, ada hasrat yang terus dipacu dan memacu—untuk mendapatkan jawaban
atas pertanyaan yang dipikirkan, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk
mendapatkan keyakinan diri, dan sebagainya. Kegiatan tersebut diharapkan
menghasilkan sesuatu yang dapat dianggap otentik, milik diri—buah pemikiran
mandiri. Selanjutnya, tentu saja jangan sampai kegiatan tersebut menjadi
sia-sia. Kalau bisa, ada wujud riilnya.
Dalam hadits seperti dalam gambar,
yakni tentang keutamaan istri yang meladeni keluarganya dengan baik, saya
melihatnya sebagai sebuah saran untuk bersikap mengalah. Istri merelakan
kegiatan terkait kepentingannya sendiri demi mengalah untuk suami dan
anak-anaknya. Dengan mengalah, istri telah berkorban, mengorbankan kegiatan berpikirnya
tentang kepentingan dirinya beserta hasil kegiatan tersebut, istri juga
mengorbankan hasratnya terhadap kepentingan dirinya. Semua itu sebagai wujud
cinta. Bukankah dalam percintaan pasti ada pengorbanan? Dan perlu diingat, hal
tersebut adalah saran—artinya boleh dipilih boleh tidak. Bagaimana dengan
konsekuensinya? Apakah jika memilih tidak, maka akan mendapat label “perempuan
yang tidak baik”?
Dalam hadits tersebut, tidak ada
penyebutan “baik” dan “tidak baik”, namun ada penyebutan “lebih baik”. Artinya,
bila dilakukan seperti dalam hadits maka statusnya lebih baik, namun bila tidak demikian juga bukan tidak
baik. Memberi nafkah bukanlah tanggungjawab istri, jadi bila tidak dilakukan
namun tetap melakukan tanggungjawabnya, maka hal tersebut tidak salah. Tanggungjawab
istri adalah sebagai pasangan suami dalam hubungan biologis dan saling dukung
dengan suami dalam memperoleh ridla Alloh swt, antara lain: menghormati dan
merawat orang tua serta mendidik anak.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa
perempuan? Bagaimana dengan laki-laki?
Dalam hal ini, perlu diingat kembali
konteks sosio-kultural masyarakat pada masa hadits tersebut. Masyarakat pada
masa itu merupakan transisi dari masyarakat jahiliyyah yang memiliki tradisi
membunuh bayi perempuan karena dianggap rendah dan hina, berbeda dengan bayi
laki-laki. Sementara itu, perlu diingat pula bahwa laki-laki bertanggungjawab
menafkahi keluarganya, termasuk istri dan anak perempuannya. Tanggungjawab tersebut
merupakan bentuk pengorbanan yang lain sekaligus sebagai penghormatan terhadap
perempuan. Jika di masa jahiliyyah laki-laki membunuh bayi perempuannya, pada
masa setelah Islam datang laki-laki harus menghidupi bayi perempuannya. Melalui
hadits tersebut, terlihat bahwa perubahan yang dibawa ajaran Islam sangat
signifikan.
Saya memberanikan diri mempertanyakan
keraguan dalam diri, karena saya takut menjadi hipokrit dan akhirnya zhalim
karena melakukan sesuatu berdasarkan taqlid buta. Saya dan segala kekurangan
saya, berbekal akal yang dikaruniakan Alloh swt dan hati yang terus berdo’a
supaya saya tidak salah bertindak. Tentu saja, saya masih mempertanyakan
kapasitas keilmuan saya. Tapi, apa gunanya akal ini kalau tidak digunakan? Bisa
mati sia-sia nanti—mubadzir—temannya setan.
Saya nggak mau!
Jogja, 20 Maret 2016