Minggu, 20 Maret 2016

Polarisasi Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam

 Sumber: https://www.instagram.com/p/BDLVcIvQTm1/?taken-by=santriindonesia

Ini adalah sebuah arsip atas pemikiran saya setelah membaca tulisan dalam gambar di atas. Bukan sebuah tafsir dari orang yang ahli, hanya sebuah hasil pemikiran seorang perempuan yang beragama Islam dan masih dalam upaya memperbaiki diri. Saya perlu menuliskannya supaya suatu saat jika saya kembali menemukan yang serupa, saya tidak harus bingung-bingung.

Beberapa bulan terakhir saya membaca dan mempelajari tentang gender. Masih awam, tapi saya menjadi lebih sensitif dalam memandang permasalahan yang berkaitan dengan laki-laki-perempuan, seperti halnya gambar di atas. Gambar tersebut saya dapatkan dari sebuah akun yang saya ikuti di instagram. Saya suka mengikuti akun-akun informatif dan akun-akun yang berisi motivasi.

Membaca tulisan dalam gambar tersebut membuat saya teringat pembahasan polarisasi perempuan dan laki-laki yang cenderung menempatkan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik. Saya pun berpikir, mungkin itu juga yang banyak dipikirkan orang, bahwa agama Islam pun mengotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan. Tapi, ada hal lain yang juga mengusik: hadits tersebut menekankan sikap mengalah dan menahan diri.

Ini logika saya, jadi tentu saja bisa didebat. Saya meyakini bahwa Alloh swt menganugerahkan akal kepada manusia untuk berpikir—di Al-Quran juga sudah jelas. Dengan berpikir, manusia memiliki kapasitas untuk memilih secara aktif, hendak bersikap bagaimana. Dalam proses berpikir, ada hasrat yang terus dipacu dan memacu—untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dipikirkan, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan keyakinan diri, dan sebagainya. Kegiatan tersebut diharapkan menghasilkan sesuatu yang dapat dianggap otentik, milik diri—buah pemikiran mandiri. Selanjutnya, tentu saja jangan sampai kegiatan tersebut menjadi sia-sia. Kalau bisa, ada wujud riilnya.

Dalam hadits seperti dalam gambar, yakni tentang keutamaan istri yang meladeni keluarganya dengan baik, saya melihatnya sebagai sebuah saran untuk bersikap mengalah. Istri merelakan kegiatan terkait kepentingannya sendiri demi mengalah untuk suami dan anak-anaknya. Dengan mengalah, istri telah berkorban, mengorbankan kegiatan berpikirnya tentang kepentingan dirinya beserta hasil kegiatan tersebut, istri juga mengorbankan hasratnya terhadap kepentingan dirinya. Semua itu sebagai wujud cinta. Bukankah dalam percintaan pasti ada pengorbanan? Dan perlu diingat, hal tersebut adalah saran—artinya boleh dipilih boleh tidak. Bagaimana dengan konsekuensinya? Apakah jika memilih tidak, maka akan mendapat label “perempuan yang tidak baik”?

Dalam hadits tersebut, tidak ada penyebutan “baik” dan “tidak baik”, namun ada penyebutan “lebih baik”. Artinya, bila dilakukan seperti dalam hadits maka statusnya lebih baik,  namun bila tidak demikian juga bukan tidak baik. Memberi nafkah bukanlah tanggungjawab istri, jadi bila tidak dilakukan namun tetap melakukan tanggungjawabnya, maka hal tersebut tidak salah. Tanggungjawab istri adalah sebagai pasangan suami dalam hubungan biologis dan saling dukung dengan suami dalam memperoleh ridla Alloh swt, antara lain: menghormati dan merawat orang tua serta mendidik anak.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa perempuan? Bagaimana dengan laki-laki?

Dalam hal ini, perlu diingat kembali konteks sosio-kultural masyarakat pada masa hadits tersebut. Masyarakat pada masa itu merupakan transisi dari masyarakat jahiliyyah yang memiliki tradisi membunuh bayi perempuan karena dianggap rendah dan hina, berbeda dengan bayi laki-laki. Sementara itu, perlu diingat pula bahwa laki-laki bertanggungjawab menafkahi keluarganya, termasuk istri dan anak perempuannya. Tanggungjawab tersebut merupakan bentuk pengorbanan yang lain sekaligus sebagai penghormatan terhadap perempuan. Jika di masa jahiliyyah laki-laki membunuh bayi perempuannya, pada masa setelah Islam datang laki-laki harus menghidupi bayi perempuannya. Melalui hadits tersebut, terlihat bahwa perubahan yang dibawa ajaran Islam sangat signifikan.

Saya memberanikan diri mempertanyakan keraguan dalam diri, karena saya takut menjadi hipokrit dan akhirnya zhalim karena melakukan sesuatu berdasarkan taqlid buta. Saya dan segala kekurangan saya, berbekal akal yang dikaruniakan Alloh swt dan hati yang terus berdo’a supaya saya tidak salah bertindak. Tentu saja, saya masih mempertanyakan kapasitas keilmuan saya. Tapi, apa gunanya akal ini kalau tidak digunakan? Bisa mati sia-sia nanti—mubadzir—temannya setan. Saya nggak mau!

Jogja, 20 Maret 2016


Rabu, 10 Februari 2016

KIY#1


“Kenapa sih pada tertarik ikut kegiatan volunteer pendidikan kayak Kelas Inspirasi?”

Rangkaian kegiatan Kelas Inspirasi Yogyakarta 2016 telah usai. Technical Meeting, Hari Inspirasi, dan Selebrasi terlaksana sudah. Saya kembali teringat awal saya mendengar tentang Kelas Inspirasi, yaitu pertanyaan pertama tulisan ini, dilontarkan oleh seorang teman dalam acara nongki di sebuah warung kopi. Mungkin terlalu berlebihan, tapi penggunaan ‘sih’ dalam pertanyaan teman saya itu jujur mengganggu saya. Mengapa tidak menggunakan kata ‘ya’ menjadi “Kenapa ya pada tertarik ikut kegiatan volunteer pendidikan kayak Kelas Inspirasi?” atau “Kenapa pada tertarik ikut kegiatan volunteer pendidikan kayak Kelas Inspirasi?”

Seolah ia bukan sekadar bertanya, tapi ada kritik yang sebenarnya ia lontarkan. Waktu itu saya tidak tahu apa itu Kelas Inspirasi, jadi saya tidak menyahut ucapan teman saya itu. Saya juga tidak bertanya dan hanya membatin, “Emang Kelas Inspirasi itu apa sih?” Lalu jawaban datang melalui sebuah grup WhatsApp. Melihat poster perekrutan relawan penyelenggara Kelas Inspirasi Yogyakarta (KIY) 2016, tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar. Waktu itu ada dua hal yang mendorong saya. Pertama, saya membaca sekilas dalam website bahwa Kelas Inspirasi adalah kegiatan peduli pendidikan dengan cara berbagi pengalaman para professional ke siswa-siswa SD. Kedua, saya belum pernah mengikuti kegiatan volunteer, jadi ini bisa menjadi pengalaman pertama. Beberapa waktu kemudian, sebuah email pemberitahuan mengkonfirmasi bahwa saya diundang mengikuti forum group discussion (FGD) di Taman Gabusan.

FGD waktu itu menarik sekali. Pertama kalinya saya mengikuti sebuah forum dan berkenalan dengan banyak orang, membincangkan pendidikan di Indonesia, lebih spesifik yang ada di sekitar kami. FGD di Taman Gabusan berlanjut dengan berkumpul di Banjar Mili untuk berkenalan lebih jauh. Apa yang membuat saya terkejut adalah ketika kami ditanyai tentang komitmen terhadap kegiatan ini. Tidak ada paksaan, hanya saja pilihannya adalah berkomitmen atau mundur sekalian. Saat itu saya menyadari, kegiatan volunteer adalah hal yang benar-benar baru bagi saya. Volunteer atau kegiatan sukarela melibatkan banyak orang yang harus saling mendukung. Bila hanya sebagian serius dan yang lainnya ogah-ogahan atau terpaksa, maka bukan lagi kegiatan sukarela dan hanya akan menjadi beban.

Dalam KIY 2016, saya termasuk dalam divisi Fasilitator, bertugas menjembatani pihak SD, relawan penyelenggara, dan relawan pengajar serta relawan dokumentator. Awalnya, saya tak menyangka Hari Inspirasi yang hanya dilakukan sehari ternyata dipersiapkan dengan detail dan dalam waktu yang cukup lama, yaitu enam bulan. Saya terpana dengan semangat teman-teman di KIY hingga dapat melakukan segala persiapan selama enam bulan lamanya. Apalah saya ini yang masih pasif dan perlu banyak belajar. Selain melakukan perekrutan relawan pengajar dan relawan dokumentator, relawan penyelenggara (lebih dikenal sebagai panitia) juga aktif melakukan audiensi dengan berbagai pihak demi kelancaran KIY 2016. Hal tersebut dikarenakan ada agenda penting di luar tiga rangkaian kegiatan KIY 2016 (technical meeting, hari inspirasi, dan selebrasi), yaitu follow up. Follow up adalah keberlanjutan dari Hari Inspirasi dimana para professional yang telah mengajar di Hari Inspirasi kembali lagi ke SD untuk terus memberikan sumbangsihnya, sesuai prinsip KIY: bersilaturahmi. Tidak ada paksaan untuk melakukan follow up, namun diharapkan terinternalisir dalam diri tiap relawan untuk tidak berhenti pada Hari Inspirasi dan melanjutkan kepeduliannya dalam bentuk yang lebih konkrit.


Para Relawan (Fasilitator, Pengajar, dan Dokumentator) berfoto bersama para siswa dan guru di SDN Sekarsuli 1 Banguntapan, Bantul saat Hari Inspirasi.

Ah, maaf bila yang saya sampaikan dalam tulisan ini menjadi sok sudah berbuat banyak. Kenyataannya, apa yang telah dilakukan dalam KIY hanya secuil upaya berlandaskan keinginan untuk berbuat sesuatu dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa obrolan selama mengikuti KIY 2016, saya dan para rekan di KIY menyadari bahwa masih banyak hal lain yang dapat dilakukan dalam bidang pendidikan dan belum dapat dicapai melalui kegiatan KIY. Bukannya menyatakan bahwa pendidikan di negeri ini tidak dipedulikan, tapi bukankah wajar bila masing-masing dari kita memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu demi pendidikan di negeri ini?

Bagi saya pribadi, KIY hanya lah awal. Semacam pemantik diri agar lebih peduli dengan sekitar, terhadap pendidikan, terhadap orang lain, bahkan orang yang baru kita kenal. Sungguh sebuah pengalaman yang berharga. Alhamdulillaah…. Terimakasih juga untuk teman-teman relawan di KIY (penyelenggara, pengajar, dokumentator) dan semua pihak yang telah mendukung kami J
Jogja, 11 Februari 2016


Senin, 19 Oktober 2015

Vica a.k.a Caca

Hari minggu yang ideal.

Teringat akan pepatah Italia yang berbunyi, “La dolce far niente” atau the sweetness of doing nothing, sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan definisi the perfect weekend.
Mengapa?
Karena akhir pekan memang seharusnya waktu dimana orang beristirahat dari rutinitas sehari-hari dan bebas untuk melakukan apapun.
Jadi sah-sah saja jika saya ingin begadang, bangun siang, tidak mandi atau tidak keluar rumah seharian.

Berikut 5 cara menghabiskan minggu ideal:
1. Breakfast in bed, apalagi kalau dimasakin sama pasangan hehe
2. Sebelum mandi, luluran terus lanjut massage biar badan rileks
3. Baca novel-novel yang belum sempat disentuh, bacanya di teras sambil leyeh-leyeh di atas dipan atau kursi panjang biar bisa ‘selonjoran’
4. Berenang di kolam yang sepi
5. Sorenya, liat sunset dipinggir pantai. (Ibaratkan rumahmu walking distance ke arah pantai)

Baiklah, saya pamit dulu ya… kembali ke realita karena harus menyelesaikan UTS PCS yang baru ‘digarap’ hahaha. Semoga weekend kalian menyenangkan :) 
http://duapuluhsatumei.tumblr.com/post/131421257358/hari-minggu-yang-ideal-teringat-akan-pepatah

Menanggapi tulisan Caca alias Vica tentang hari minggu yang ideal. Ilustrasi yang disertakan langsung membuat saya ingin bersantai. Bahkan, saya langsung membayangkan berada di tepi kolam renang itu tanpa ada orang lain. Cukup saya. Ah tidak, hanya ada satu orang lain: yang melayani saya sepenuh hati agar saya dapat bersantai seharian penuh. Ah, kuharap suatu saat kelak akan terwujud.
Vica memberikan lima butir tips untuk menghabiskan waktu di hari Minggu agar menjadi Minggu yang ideal. Saya suka kelima poin tersebut, meski belum tentu saya melakukan hal serupa untuk menjadikan Minggu saya ideal. Lagipula, saya lebih suka menjadikan hari Sabtu sebagai hari bersantai saya. Di hari itu, saya dapat benar-benar bersantai, sejenak menjauhkan diri dari rutinitas, lalu saya akan menebusnya di hari Minggu. Bagi saya, hari Minggu yang ideal adalah hari dimana saya dapat menyelesaikan semua pekerjaan yang berdeadline di hari Senin dan Selasa. Artinya, saya kembali memiliki setidaknya satu hari dimana saya dapat kembali bersantai. Ya, saya tahu saya pemalas.
Kembali ke tulisan saudari Caca yang cantik dan manis, saya sangat sepakat dengan “tidak keluar rumah seharian”. Tidak keluar rumah seharian bisa lho, menjadi indikasi bahwa kita merasa nyaman dengan tempat tinggal kita, keluarga kita, kegiatan domestik kita. Tapi, bukankah hal tersebut juga mengindikasikan kurangnya sosialisasi dengan lingkungan? Ah, tidak. Jika memakai perhitungan umum bahwa sepekan terdiri dari 7 hari, maka 6 hari selain hari Minggu adalah waktu kita dapat bersosialisasi. Maka, 1 hari untuk diri sendiri bukanlah hal yang berlebihan: sejenak berinteraksi dengan tubuh dan pikiran sendiri. Ya, tubuh dan pikiran kita sendiri berhak mendapatkannya. 
Di akhir tulisannya, saudari Caca menyampaikan semoga weekend saya (sebagai pembaca) menyenangkan. Maka dalam tulisan yang dibuat di hari Senin ini saya ingin menyampaikan, semoga awal pekanmu menyenangkan, akhir pekanmu menyenangkan, dan setiap hari selalu menyenangkan...! :))

Minggu, 18 Oktober 2015

Bahagia Itu... Teh Hijau, Kerupuk Kutuk, dan Coklat Panas

Hai rek…
Kali ini saya mau bahas gimana cara menyeduh teh hijau yang tidak sampai merusak cita rasa teh hijau itu sendiri. Jadi sebenarnya, saya suka meminum teh hijau meski tidak sering apalagi teratur. Kadang-kadang aja gitu… Alasan saya mengkonsumsinya sih kurang lebih karena termakan berbagai kabar dan wacana tubuh ideal, saya akui itu. Namun bukan itu yang ingin saya bahas sekarang. Jadi ceritanya, saya pernah membaca artikel tentang bagaimana cara menyeduh teh yang baik dan benar agar cita rasa teh tetap terjaga dan manfaatnya maksimal. Untuk menyeduh teh hijau, caranya ialah dengan menggunakan air panas yang suhunya sekitar 80-90 derajat celcius dan hanya didiamkan dalam waktu 1-2 menit. Saya mengacu pada artikel ini: http://wolipop.detik.com/read/2013/05/20/070614/2250153/1135/ini-cara-yang-benar-menyeduh-teh-agar-rasanya-lebih-nikmat dan http://food.detik.com/read/2013/03/20/110201/2198720/297/dengan-diagram-ini-menyeduh-teh-jadi-gampang
Membaca artikel tentang cara menyeduh teh yang baik tersebut saya baca tanpa segera saya praktikkan. Saya pikir, toh rasanya tidak akan beda jauh dengan teh yang saya buat dengan cara yang selama ini saya lakukan. Selama ini, saya menggunakan gelas yang berukuran jumbo, lalu menyeduh teh sesaat setelah air mendidih. Dan karena airnya masih sangat panas, saya akan mendiamkannya cukup lama hingga dapat diminum tanpa membakar lidah. Nah suatu malam, saya sedang ingin bersantai di tengah pikiran yang jenuh setelah kuliah tujuh sks. Maka, saya memutuskan untuk menyeduh teh hijau untuk membantu merilekskan diri. 
Tidak seperti biasanya, kali ini saya tidak langsung menuangkan air yang baru saja mendidih ke dalam gelas yang sudah berisi teh hijau. Seperti saya bilang, malam itu saya sedang ingin bersantai, sok punya leisure time, dan pengin nyenengin diri mengkonsumsi film-film secara acak dan meloncat-loncat. Maka, saya diamkan dulu air yang baru saja mendidih tersebut sementara saya menggoreng camilan favorit saya, kerupuk ikan kutuk. Selesai menggoreng kerupuk, barulah saya membuat coklat panas dan menyeduh teh. Sekitar tiga menit kemudian, saya meminum teh hijau hasil seduhan saya sendiri. Luwarrrbiyasahh! Rasanya jauh berbeda dengan rasa teh yang saya seduh selama ini. Biasanya terasa pahit, namun kali ini tidak. Sungguh menyegarkan!

Maka malam itu, berbekal setoples kerupuk, segelas coklat panas, dan segelas teh hijau, saya menikmati malam yang indah. Selama menikmatinya, saya jadi bersyukur tiada henti. Agenda menonton film pun tidak lagi dibutuhkan, cukup tiga hal itu dan saya menjadi sangat bahagia J

Sabtu, 17 Oktober 2015

Acaranya Udah Gak Tayang

Nasionalisme Ilutif dalam Episode 1 Sinetron “Aku Anak Indonesia” RCTI

Ideologi dan Representasi: Benarkah Selalu Sejalan?
Salah satu sinetron yang sedang ditayangkan di televisi Indonesia saat ini berjudul “Aku Anak Indonesia” yang ditayangkan di RCTI. Judul menurut Graeme Burton (2000) berfungsi mempersiapkan pemirsa pada serangkaian penyikapan atau konvensi tertentu (merancang pola pikir akan program tersebut). Judul sinetron ini seolah merupakan pernyataan bangga dengan identitas sebagai Anak Indonesia. Karenanya, judul tersebut memberikan rancangan pola pikir kepada pemirsanya bahwa sinetron ini mencoba mengangkat tema kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air (nasionalisme). Tema ini cukup berbeda dibandingkan sinetron-sinetron lainnya yang lebih banyak menjual percintaan dan komedi. Sinetron “Aku Anak Indonesia” bersetting kehidupan remaja usia SMA di Jakarta. Pemeran utama dalam “Aku Anak Indonesia” adalah seorang gadis bernama Ani yang diceritakan sebagai gadis remaja yang idealis.
Kemunculan sinetron ini disambut cukup baik oleh masyarakat. Kemungkinan, sinetron ini dianggap merespon apa yang belakangan banyak diulas media mengenai kecintaan terhadap bangsa kita sendiri, Indonesia. Media menilai kecintaan terhadap bangsa sendiri telah luntur, bahkan terlupakan. Karenanya, berbagai tayangan yang dikonsumsi oleh masyarakat mulai dipertanyakan kualitasnya, sebab sering dianggap sebagai pendorong generasi muda untuk memuja segala yang impor dan seolah malu dengan yang lokal. Meski demikian ketika menonton keseluruhan cerita “Aku Anak Indonesia” episode 1, terdapat beberapa hal yang dirasa janggal berkaitan dengan ideologi yang disampaikan sebagai tema besarnya dan apa yang ditampilkan dalam cerita. Hal inilah yang nantinya akan dibahas menggunakan pendekatan analisis wacana kritis.
Sinetron “Aku Anak Indonesia” dapat dianggap sebagai representasi visual yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi saat ini. Dalam “Imagined Communities” (1991), Benedict Anderson menceritakan bagaimana representasi visual digunakan untuk mendokumentasikan perubahan yang terjadi di masyarakat sacred community. Di masa itu, wujudnya antara lain relief dan mosaik pada jendela gereja. Hal itu digunakan karena kesadaran bahwa masa lampau dan masa depan bersifat simultan atau saling berkaitan, dan dengan demikian sangat erat kaitannya dengan masa sekarang. Karena itu dalam sinetron “Aku Anak Indonesia”, penting untuk dikaji bagaimana pesan-pesan nasionalisme disampaikan melalui representasi tersebut. Dengan demikian, diharapkan selanjutnya tidak ada pemahaman mentah terhadap pesan yang disampaikan di dalamnya.
Analisis Wacana Kritis sebagai Pendekatan
Dalam upaya memahami bagaimana kecintaan terhadap tanah air (nasionalisme) ditampilkan dalam sinetron “Aku Anak Indonesia”, saya memilih untuk berfokus pada episode 1 dari serial tersebut. Episode 1 dipilih sebagai objek kajian karena dalam sinetron, episode 1 dijadikan sebagai pengantar atau pengenalan kepada penonton. Biasanya, di dalam episode 1 ditampilkan karakter-karakter penting dalam cerita serta konflik yang akan dibangun dalam keseluruhan serial.
Dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia”, pemeran utama memiliki porsi kemunculan yang dominan. Menurut El Saptaria (2006:34), protagonis atau pemeran utama merupakan karakter yang menggerakkan plot dari awal sampai akhir dan memiliki itikad, namun dihalangi oleh tokoh lain. Protagonis memiliki irama tragis dan menggerakkan seluruh cerita. Di dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia”, protagonis sekaligus berperan sebagai narator atau penutur di akhir cerita. Teknik ini digunakan untuk mendukung realisme naratif cerita, sehingga apa yang ingin disampaikan kepada penonton dapat tercapai. Melihat bahwa apa yang ingin disampaikan banyak dititipkan kepada karakter pemeran utama (Ani), maka analisis wacana kritis dilakukan dengan melihat penokohan karakter Ani tersebut, baik yang ia tampilkan maupun anggapan karakter lain tentangnya.
Analisis wacana kritis mengurai apa yang dianggap wajar, dan berupaya menjelaskan kemapanan serta pengaruh sosial dari wacana yang seringkali dianggap buram oleh khalayaknya (Fairclough, 1995:28). Dalam tulisan ini, analisis wacana kritis digunakan sebagai pisau penelitian untuk memahami bagaimana pesan-pesan nasionalisme disampaikan dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia”.
Plot dalam Episode 1 Sinetron “Aku Anak Indonesia”
Sebelum menganalisis karakter Ani, terlebih harus dilakukan pemetaan plot atau aspek naratif, yaitu:
1.      Ani dan Ibunya pulang ke Indonesia dari Jerman menggunakan pesawat. Tampak Ani menitikkan air mata karena bahagia dapat kembali ke tanah air.
2.      Ani menonton sinetron di televisi, lalu ibunya menegur agar ia menonton sinetron yang baik. Namun karena dirasa tak ada yang bagus untuk ditonton, ia mematikannya.
3.      Ani hendak berangkat sekolah menggunakan sepeda, tetapi Ibunya melarang karena polusi yang tinggi di Jakarta. Terjadi debat kecil antara keduanya karena Ani justru ingin mengurangi polusi karena cintanya akan kota dan alam Indonesia, namun ibunya tetap melarangnya.
4.      Di mobil dalam perjalanan ke sekolah, Ani mengobrol dengan sopirnya dan mengeluhkan sikap Ibunya, tetapi sopirnya justru memihak Ibunya. Sopirnya bilang bahwa Ani baru pulang ke Indonesia setelah lima tahun di Jerman, jadi kalau naik sepeda sendiri ia bisa tersesat karena jalanan Jakarta semrawut dan pernapasannya bisa terganggu karena polusi yang tinggi.
5.      Dari jendela mobilnya, Ani melihat Arif yang terjatuh karena luka tusuk di perutnya. Ani ingin menolong, tetapi sopirnya menolak karena takut itu hanya tipu muslihat perampok. Ani bersikeras menolong Arif dan mengancam akan langsung turun jika sopirnya tidak mau berhenti.
6.      Ani dan Arif berkenalan di rumah sakit; Arif menceritakan bahwa ia tertusuk ketika mencoba melerai tawuran antarsekolah.
7.      Ani melaporkan tentang tawuran antarsekolah kepada wali kelasnya, tetapi responnya tidak memuaskan Ani. Wali kelasnya mengejek Ani yang baru tinggal di Indonesia dan mengatakan bahwa tawuran antarsekolah sudah menjadi hal yang wajar. Tugas Ani sebagai murid adalah belajar, itu saja.
8.      Karena merasa laporannya tidak ditanggapi, Ani mengumumkan dengan mic usai upacara di halaman sekolah. Para siswa menyerunya.
9.      Ani berkenalan dengan Ito di perpustakaan sekolah.
10.  Ani diancam oleh Wati dan temannya agar tidak ikut campur dan sok pahlawan dalam urusan tawuran antarsekolah. Wati juga mengejek cara bicara Ani yang dianggapnya kaku. Ani tidak terima dan balik mengejek Wati dan temannya yang memakai rok pendek ke sekolah, berkata-kata kasar terhadap orang yang belum dikenal, dan dipertanyakan isi kepalanya. Ani juga menegaskan bahwa ia bukannya sok pahlawan, tetapi membela apa yang dianggapnya benar dan anti kekerasan.
11.  Ani dan Ito melaporkan perihal tawuran antarsekolah ke kantor polisi, namun lagi-lagi ia merasa tidak mendapat respon yang semestinya.
12.  Ani datang menjenguk Arif di rumah sakit dan menyuapi Arif. Menurutnya, hal itu merupakan hal yang wajar sebagai rasa kemanusiaan.
13.  Ani mengajak teman-temannya membuat pesta kejutan untuk Arif yang akan segera kembali masuk sekolah. Menurutnya, hal tersebut tak berlebihan dan menunjukkan rasa bangga akan keberanian Arif menolak tawuran. Ani disebut sebagai ‘Jerman KW’ oleh Wati yang mengintip dari luar kelas.
14.  Ani dan teman-temannya mengadakan pesta sambutan untuk Arif di depan sekolah. Ridho datang untuk menantang Arif berduel. Ani melarang Arif menerima tantangan tersebut, tapi Arif menerimanya.
15.  Arif dan Ridho berduel; Ridho kalah dan harus berjanji tidak lagi tawuran.
16.  Para siswa SMA Anak Indonesia dipukuli para siswa dari sekolah lawan. Ani, Arif, dan Ito menyusun siasat agar bisa menghentikan tawuran.
17.  Ani, Arif, dan Ito menemui Abor yang merupakan Komandan tawuran dari sekolah lawan. Awalnya Abor menolak untuk berdamai, namun akhirnya ia setuju setelah melihat kebaikan Ani yang mengulurkan saputangannya untuk Abor.
18.  Pertandingan sepak bola tiap minggu sebagai sarana berdamainya dua sekolah yang tadinya tawuran. Meski demikian, Wati masih tampak membenci Ani.
Menerapkan Analisis Wacana Kritis pada Karakter Ani
Dalam analisis wacana kritis, dilakukan upaya denaturalisasi terhadap wacana yang ada dan dianggap wajar. Hal yang perlu dilakukan menurut Fairclough (1995:27-28) adalah dengan menjelaskan bagaimana struktur sosial menentukan kekayaan wacana, dan bagaimana wacana juga menentukan struktur sosial. Ia menambahkan aspek kritis yang membedakannya dengan analisis wacana sebelumnya untuk memberikan suatu intervensi kesadaran dengan menggunakan logika mikro dan makro di dalamnya. Mikro dan makro yang berkaitan menjadi alat analisis. Mikro adalah lingkup kecil termasuk hal-hal verbal yang ada di dalam teks, sedangkan makro adalah struktur yang melihat apa yang ada di belakang kondisi yang disampaikan dalam teks.
Mikro: Perkenalan Mendalam terhadap Karakter Ani Sang Protagonis
Karakter Ani berjenis round character; digambarkan sebagai karakter yang sempurna, sarat akan pesan-pesan dramatik (El Saptaria, 2006:35). Analisis terhadap karakter Ani dalam sinetron “Aku Anak Indonesia” mengacu pada delapan bagian untuk menciptakan karakter yang dramatis sebagaimana dijelaskan oleh James Thomas dalam “Script Analysis for Actors, Directors,and Designers”. Delapan bagian tersebut kemudian disandingkan dengan plot, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Objectives/Goal (Tujuan yang Hendak Dicapai oleh Karakter)
Dalam adegan awal ketika Ani berdebat kecil dengan ibunya karena ingin bersepeda ke sekolah sementara ibunya melarangnya, tampak bahwa tujuan karakter Ani adalah manifestasinya terhadap kecintaan akan Indonesia. Hal ini juga terdapat dalam obrolan di adegan Ani dan sopirnya, adegan Ani menolong Arif, dalam adegan-adegan Ani mengupayakan agar tawuran antarsekolah dapat dihentikan, dan dalam adegan Ani cekcok dengan Wati.

2.      Kualitas (Tindakan untuk Mencapai Tujuan/taktik)
Diketahui bahwa tujuan karakter Ani adalah manifestasi kecintaannya terhadap tanah air. Taktik yang dilakukan ialah dengan berupaya naik sepeda ke sekolah, berusaha menghentikan tawuran antarsekolah dengan melaporkannya ke wali kelas, mengumumkannya melalui mic usai upacara, melaporkannya ke polisi, dan mendatangi Komandan tawuran sekolah lawan. Selain itu, adegan Ani menolong Arif muncul setelah Ani menyebut tentang keramahan orang Indonesia, sehingga dapat diartikan sebagai salah satu taktik mencapai tujuannya. Satu hal yang tampak secara konsisten dalam taktiknya ialah upayanya untuk selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam percakapan sehari-hari.

3.      Konflik (Penggambaran konflik antarkarakter)
Konflik yang dialami karakter Ani adalah konfliknya dengan lingkungannya dan beberapa orang di sekitarnya. Konflik dengan lingkungannya tampak ketika ia berdebat dengan Ibunya saat akan berangkat sekolah naik sepeda, saat mengobrol dan berdebat dengan sopirnya, saat ia melaporkan tawuran antarsekolah, ketika ia nekad mengumumkan melalui mic usai upacara sekolah, saat ia diancam dan diejek oleh Wati, dan ketika Abor menolak niatnya untuk berdamai.

4.      Willpower (Kemauan Tinggi yang Digunakan untuk Mencapai Objektif)
Ani sebagai seorang murid baru dan berperawakan kecil, namun ia tidak mudah menyerah untuk terus berupaya demi mencapai keinginannya.

5.      Values/Nilai (Pandangan Baik-Buruk Menurut Karakter)
Nilai bersifat tak kasat mata, berpangkal pada kepercayaan akan hal-hal tertentu dan mempengaruhi personalitas karakter. Karakter Ani memiliki nilai berupa kecintaannya terhadap tanah air, keyakinannya bahwa orang Indonesia ramah, serta keyakinannya dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karenanya, ia menganggap bahwa respon lingkungannya tidaklah benar sebagaimana mestinya. Sedangkan karakter Ani sendiri dianggap selalu benar dan memiliki nilai ideal sebagai pemuda Indonesia. Selain itu, dijelaskan sebelumnya bahwa judul menjadi upaya dalam mempersiapkan pola pikir penonton akan sinetron ini. “Aku Anak Indonesia” seolah merujuk pada karakter utama dalam sinetron ini, yaitu Ani. Artinya, nilai dalam karakter Ani adalah kebanggaannya sebagai Anak Indonesia.

6.      Personalitas (Ciri yang Menyajikan Tampilan, Perasaan, dan Pikiran Karakter)
Karakter Ani ditampilkan sebagai perempuan muda usia SMA, berpenampilan menarik, baik hati, pemberani, dan berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Ia juga ditampilkan sebagai sosok cerdas, teguh pendirian (turut menjadikannya taat peraturan), dan memiliki pengalaman tinggal di Jerman selama lima tahun.

7.      Kompleksitas (Merepresentasikan Kesadaran Karakter akan Situasinya)
Ani sebagai karakter utama ditampilkan sebagai karakter yang paling kompleks. Ani baru saja pulang ke Indonesia dari Jerman, ia berasal dari keluarga menengah ke atas. Di sisi lain, ia menjadi murid baru memiliki beberapa hal yang berlawanan dengan lingkungannya. Kompleksitas ini menjadikannya menarik untuk dilihat relasinya dengan karakter lain dan pengembangan cerita.

8.      Relationships (Keterhubungan Antarkarakter)
Berfokus pada karakter Ani, terlihat bahwa karakter tersebut beroposisi dengan lingkungannya dan beberapa karakter lain, seperti Ibunya, sopirnya, Wati, Wali Kelasnya, polisi, dan Abor. Karakter Ani berada dalam relasi positif dengan Arif, Ito, dan Abor pada akhirnya.


Makro: Penyampaian Pesan yang Terbalik
Ani digambarkan sebagai karakter yang ideal dalam menyampaikan wacana nasionalisme, karena ia anti kekerasan, teguh pendirian, berani, taat peraturan, dan baik terhadap sesama. Sifat-sifat ideal tersebut juga didukung oleh latar belakangnya sebagai anak dari kalangan menengah ke atas. Namun demikian, kesempurnaannya justru menjadi kendala antara ia dan lingkungannya serta beberapa tokoh lainnya. Hal ini menjadi konflik yang menjadikan ceritanya menarik. Namun, penokohan karakter Ani yang dilakukan melalui karakter lain dalam cerita memunculkan kritik karena seolah justru memutarbalikkan wacana yang ingin disampaikan.
Karakter Ani diceritakan sebagai anak pindahan di SMA di Indonesia setelah sebelumnya selama lima tahun tinggal di Jerman. Dalam beberapa adegan konflik yang ada, latar belakang Ani sebagai ‘anak yang baru pulang dari Jerman’ disebutkan dan ditekankan. Penekanan tersebut seolah menyatakan fetisisme terhadap Jerman yang bukan tanah air, sedangkan Indonesia sebagai tanah air sama sekali tidak digambarkan sebagai negeri yang layak dicintai. Penyajian ini berkebalikan dari tema sinetron yang mengangkat kecintaan terhadap tanah air. Adegan-adegan tersebut ialah:
1.      Ani hendak berangkat sekolah menggunakan sepeda karena ingin mengurangi polusi, tetapi Ibunya melarang karena di Jakarta polusinya tinggi. Ani pun menurut meski tidak setuju. Jelas menggambarkan bahwa Jakarta sebagai ibukota adalah tempat yang kurang nyaman.
2.      Ani mengobrol dengan sopirnya. Sopirnya bilang bahwa Ani baru pulang ke Indonesia setelah lima tahun di Jerman, jadi kalau naik sepeda sendiri ia bisa tersesat karena jalanan Jakarta semrawut dan pernapasannya bisa terganggu karena polusi yang tinggi. Ketika Ani mendebat bahwa ia masih percaya akan keramahan masyarakat Indonesia dan keindahan alamnya, sopirnya hanya geleng-geleng kepala sambil berujar,”Mimpi, Neng...!”. Jelas menggambarkan bahwa keadaan Indonesia sudah tidak nyaman seperti dahulu, dan anggapan Ani tentang keindahan Indonesia hanyalah ilusi. Selain itu, adegan tersebut juga menyiratkan bahwa kondisi di Jerman lebih baik daripada Indonesia.
3.      Ani melaporkan tentang tawuran antarsekolah kepada wali kelasnya, tetapi Wali kelasnya malah mengejek Ani yang baru tinggal di Indonesia dan mengatakan bahwa tawuran antarsekolah sudah menjadi hal yang wajar. Jelas menggambarkan bahwa kondisi para pelajar di Indonesia sangatlah buruk dan tidak sebaik di luar Indonesia.

4.      Ani diancam oleh Wati dan temannya agar tidak ikut campur dan sok pahlawan dalam urusan tawuran antarsekolah. Ani balik mengejek Wati dan temannya yang memakai rok pendek ke sekolah, berkata-kata kasar terhadap orang yang belum dikenal, dan dipertanyakan isi kepalanya. Ani juga menegaskan bahwa ia bukannya sok pahlawan, tetapi membela apa yang dianggapnya benar dan anti kekerasan. Apa yang tersirat dalam adegan tersebut adalah bahwa remaja di Indonesia tidak memiliki tata krama dan tidak mau berpikir, sedangkan Ani yang sebelumnya tinggal di Jerman kondisinya berkebalikan.
5.      Ani menyuapi Arif di rumah sakit. Arif bercerita bahwa jika di Indonesia, hal semacam itu termasuk tabu, tapi Menurut Ani hal itu merupakan hal yang wajar sebagai rasa kemanusiaan. Di sini, tersirat bahwa sikap Ani sebagai orang yang sebelumnya tinggal di Jerman adalah sikap yang baik dan benar.
6.      Ani mengajak teman-temannya membuat pesta kejutan untuk Arif yang akan segera kembali masuk sekolah dan menunjukkan rasa bangga akan keberanian Arif menolak tawuran. Ani disebut sebagai ‘Jerman KW’ oleh Wati yang mengintip dari luar kelas. Adegan ini menyiratkan bahwa Wati iri karena Ani disenangi teman-temannya, dan terdapat fetisisme yang jelas terhadap Jerman melalui julukan ‘Jerman KW’ yang dilontarkan Wati kepada Ani.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa apa yang disampaikan dalam episode 1 sinetron “Aku Anak Indonesia” justru berisi pandangan fetish terhadap Jerman dan menganggap rendah atau buruk terhadap tanah air Indonesia. Menurut saya, hal tersebut merupakan kesalahan fatal, sebab dengan demikian pesan yang ingin disampaikan kepada penonton tidak dapat diwujudkan.
Menyongsong Matinya Nasionalisme
Benedict Anderson (1991) menyebut bahwa sebuah bangsa adalah sebuah komunitas yang dibayangkan (imagined community). Tidak pernah ada yang benar-benar dapat menghitung anggota dari suatu bangsa dan bagaimana kondisinya. Bangsa menurut Anderson bersifat terbatas sekaligus berkuasa. Terbatas karena kita sebagai bagiannya selalu menganggap bahwa ada batasan tertentu yang menjadikan kita berkebangsaan yang satu dan bukan yang lain. Contohnya, kita merasa berkebangsaan Indonesia, bukan Jerman. Kita tidak pernah membayangkan bahwa seluruh orang di dunia ini berkebangsaan Indonesia. Di sisi lain, kebangsaan juga berkuasa, karena memiliki kuasa menyatukan pluralisme.
Konsep kebangsaan menurut Anderson ini dapat memberikan implikasi yang besar bila diterapkan pada kasus sinetron “Aku Anak Indonesia”. Kebangsaan adalah nilai yang paling melegitimasi dalam kehidupan politik di masa kini. Karenanya, wacana yang melingkupinya juga sangat mempengaruhi tindakan kita sebagai bagian dari suatu bangsa. Melalui sifat kebangsaan yang terbatas, penonton menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan bukan bagian dari bangsa Jerman. Penyajian dalam sinetron “Aku Anak Indonesia” dapat memberikan implikasi yang berkebalikan dari apa yang ingin disampaikan: alih-alih menumbuhkan rasa cinta tanah air, justru memupusnya dan memupuk fetisisme terhadap segala yang ada di luar negeri (Jerman).
Kuasa dalam bangsa dapat menyatukan pluralisme. Permasalahannya akan muncul bila pluralisme tidak diimbangi dengan nasionalisme yang kuat, sebab orang-orang di dalamnya telah terbiasa dengan perbedaan dan menjadi tidak peka terhadap persinggungan dengan bangsa lain. Bila dibiarkan berlarut-larut, nasionalisme akan benar-benar luntur. Jika apa yang ditulis oleh Bennedict tentang kerelaan mati demi bangsa dijadikan tolak ukur, maka nantinya tidak akan ada lagi yang rela mati demi Indonesia. Tidak ada lagi yang membela tanah air demi identitas sebagai bagian dari bangsa Indonesia; yang ada kemudian adalah: matinya nasionalisme, matinya bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities. London & New York: Verso.
Burton, Graeme. 2000. Membincangkan Televisi. Yogyakarta: Jalasutra.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. London & New York: Longman.

Thomas, James. 2005. Script Analysis for Actors, Directors, and Designers. New York: Focal Press.