Minggu, 20 Maret 2016

Polarisasi Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam

 Sumber: https://www.instagram.com/p/BDLVcIvQTm1/?taken-by=santriindonesia

Ini adalah sebuah arsip atas pemikiran saya setelah membaca tulisan dalam gambar di atas. Bukan sebuah tafsir dari orang yang ahli, hanya sebuah hasil pemikiran seorang perempuan yang beragama Islam dan masih dalam upaya memperbaiki diri. Saya perlu menuliskannya supaya suatu saat jika saya kembali menemukan yang serupa, saya tidak harus bingung-bingung.

Beberapa bulan terakhir saya membaca dan mempelajari tentang gender. Masih awam, tapi saya menjadi lebih sensitif dalam memandang permasalahan yang berkaitan dengan laki-laki-perempuan, seperti halnya gambar di atas. Gambar tersebut saya dapatkan dari sebuah akun yang saya ikuti di instagram. Saya suka mengikuti akun-akun informatif dan akun-akun yang berisi motivasi.

Membaca tulisan dalam gambar tersebut membuat saya teringat pembahasan polarisasi perempuan dan laki-laki yang cenderung menempatkan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik. Saya pun berpikir, mungkin itu juga yang banyak dipikirkan orang, bahwa agama Islam pun mengotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan. Tapi, ada hal lain yang juga mengusik: hadits tersebut menekankan sikap mengalah dan menahan diri.

Ini logika saya, jadi tentu saja bisa didebat. Saya meyakini bahwa Alloh swt menganugerahkan akal kepada manusia untuk berpikir—di Al-Quran juga sudah jelas. Dengan berpikir, manusia memiliki kapasitas untuk memilih secara aktif, hendak bersikap bagaimana. Dalam proses berpikir, ada hasrat yang terus dipacu dan memacu—untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dipikirkan, untuk mendapatkan pengetahuan, untuk mendapatkan keyakinan diri, dan sebagainya. Kegiatan tersebut diharapkan menghasilkan sesuatu yang dapat dianggap otentik, milik diri—buah pemikiran mandiri. Selanjutnya, tentu saja jangan sampai kegiatan tersebut menjadi sia-sia. Kalau bisa, ada wujud riilnya.

Dalam hadits seperti dalam gambar, yakni tentang keutamaan istri yang meladeni keluarganya dengan baik, saya melihatnya sebagai sebuah saran untuk bersikap mengalah. Istri merelakan kegiatan terkait kepentingannya sendiri demi mengalah untuk suami dan anak-anaknya. Dengan mengalah, istri telah berkorban, mengorbankan kegiatan berpikirnya tentang kepentingan dirinya beserta hasil kegiatan tersebut, istri juga mengorbankan hasratnya terhadap kepentingan dirinya. Semua itu sebagai wujud cinta. Bukankah dalam percintaan pasti ada pengorbanan? Dan perlu diingat, hal tersebut adalah saran—artinya boleh dipilih boleh tidak. Bagaimana dengan konsekuensinya? Apakah jika memilih tidak, maka akan mendapat label “perempuan yang tidak baik”?

Dalam hadits tersebut, tidak ada penyebutan “baik” dan “tidak baik”, namun ada penyebutan “lebih baik”. Artinya, bila dilakukan seperti dalam hadits maka statusnya lebih baik,  namun bila tidak demikian juga bukan tidak baik. Memberi nafkah bukanlah tanggungjawab istri, jadi bila tidak dilakukan namun tetap melakukan tanggungjawabnya, maka hal tersebut tidak salah. Tanggungjawab istri adalah sebagai pasangan suami dalam hubungan biologis dan saling dukung dengan suami dalam memperoleh ridla Alloh swt, antara lain: menghormati dan merawat orang tua serta mendidik anak.
Pertanyaan selanjutnya: mengapa perempuan? Bagaimana dengan laki-laki?

Dalam hal ini, perlu diingat kembali konteks sosio-kultural masyarakat pada masa hadits tersebut. Masyarakat pada masa itu merupakan transisi dari masyarakat jahiliyyah yang memiliki tradisi membunuh bayi perempuan karena dianggap rendah dan hina, berbeda dengan bayi laki-laki. Sementara itu, perlu diingat pula bahwa laki-laki bertanggungjawab menafkahi keluarganya, termasuk istri dan anak perempuannya. Tanggungjawab tersebut merupakan bentuk pengorbanan yang lain sekaligus sebagai penghormatan terhadap perempuan. Jika di masa jahiliyyah laki-laki membunuh bayi perempuannya, pada masa setelah Islam datang laki-laki harus menghidupi bayi perempuannya. Melalui hadits tersebut, terlihat bahwa perubahan yang dibawa ajaran Islam sangat signifikan.

Saya memberanikan diri mempertanyakan keraguan dalam diri, karena saya takut menjadi hipokrit dan akhirnya zhalim karena melakukan sesuatu berdasarkan taqlid buta. Saya dan segala kekurangan saya, berbekal akal yang dikaruniakan Alloh swt dan hati yang terus berdo’a supaya saya tidak salah bertindak. Tentu saja, saya masih mempertanyakan kapasitas keilmuan saya. Tapi, apa gunanya akal ini kalau tidak digunakan? Bisa mati sia-sia nanti—mubadzir—temannya setan. Saya nggak mau!

Jogja, 20 Maret 2016